About Me

Kamis, 29 April 2010

Percaya

Pernah ada dua sessi dalam kehidupanku di mana aku mengalami kehilangan kepercayaan. Kepercayaan yang kumaksudkan di sini adalah bukan kepercayaan dalam hubungannya dengan agama, maupun kepercayaan dalam kaitannya dengan kepercayaan diri. Kepercayaan itu adalah kepercayaan kepada orang lain. Lebih detail lagi kepercayaan kepada orang-orang yang kuanggap bisa kupecayai.
Sessi yang pertama adalah sepotong plot kehidupanku ketika aku kelas 6 SD. Waktu itu aku punya seorang sahabat yang amat kupercayai. Aku mempercayakan segala rahasiaku kepadanya. Benar-benar segala rahasia. Karena kepercayaan itu, persahabatan kami menjadi begitu lekat. Terlebih, persahabatan kami di mulai ketika kami kelas 4 SD. Kedekatan kami ibarat ungkapan “di mana ada dia, di situ juga ada aku”. Sungguh merupakan plot yang membahagiakan sebelum aku digempur oleh luka batin itu. Ya. Karena salah satu tingkahnya, pancang-pancang yang menopang bangunan kepercayaanku terlepas dari ikatannya. Karena penghianatannya, gedung kepercayaanku luruh bergemuruh hingga rangkanya pun turut melesak ke dalam tanah dan membuat lukaku semakin dalam dan sukar disembuhkan. Kawan, kau tahu apa tingkahnya?????
Dia membeberkan semua rahasiaku kepada teman-temanku. Bukan hanya teman-teman seangkatan, tetapi adik kelas pun juga tahu.
Kau tahu kawan? Sejak saat itulah aku menjadi orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Bahkan aku mendeklarasikan bahwa aku tidak akan pernah percaya lagi sepenuhnya pada siapapun. Aku berubah menjadi orang yang tidak banyak cerita. Menjadi orang yang selalu mencari sendiri solusi-solusi untuk masalahku. Sejak itu pula, aku mulai melatih diriku menjadi seorang single fighter: Membangun sebuah ruang besar di hatiku untuk menampung permasalahan kehidupanku; membuat topeng wajah yang lebih lucu dan ceria daripada badut Ancol; mengoleksi langkah-langkah strategis dengan memahami kehidupan demi sebuah solusi atas masalah-masalahku. Selama aku melakukan itu semua, alam bawah sadarku juga memperteguh kerinduanku untuk memperoleh seorang atau beberapa sahabat yang benar-benar bisa dipercaya.
Dalam plot lain lagi, jauh sesudah plot itu, aku berhasil memaafkan dia dan menerima diri. Ya. Penerimaan atas luka dan pengalaman itu, sedikit mengobati lukaku. Meski begitu, luka tetaplah luka. Ia tetap memiliki bekas hingga hatiku diganti oleh hati yang baru. Namun, kapan hati yang baru itu datang? Probabilitas terbesar untuk pertanyaan itu adalah saat aku reinkarnasi nanti. Artinya, selama aku hidup di dunia, bekas itu tetap ada.
Aku bisa menerima bahwa aku harus mulai dari awal lagi untuk membangun ruang kepercayaan di hatiku. Nanti, akan kuceritakan kenapa aku harus menerima.
Plot yang kedua adalah plot seputar bulan Maret-April ini. Belum aku selesai membangun ruangan itu, aku mengalami hal yang sama. Sialnya, itu juga dilakukan oleh sahabatku sendiri yang kupercaya dapat menjaga dan melidungi kotak mutiaraku.
Dari dua plot itu, aku jadi bertanya, apakah aku boleh menyebut diriku sebagai keledai (karena keledai sering jatuh pada lubang yang sama)?
Dua plot itu membuatku benar-benar merasa terancam. Maksudnya, aku terancam akan kehilangan salah satu mutiara hidupku, yaitu kepercayaan kepada orang lain (dalam kaitannya dengan rahasia). Atau bahkan malah dua mutiara. Yang pertama adalah kepercayaan itu tadi, yang kedua adalah tentang membangun persahabatan yang solid.
……………………….
Dari dua plot itu, aku belajar bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya seratus persen. Mungkin lebih tepatnya bila aku mengatakan bahwa aku belum bisa menemukan orang di dunia ini yang bisa kupercayai seratus persen. Sekali lagi, belum pernah.

Hal kedua yang bisa kupelajari adalah sebelum aku membagikan rahasiaku kepada orang lain, aku semestinya mempersiapkan diri kalau-kalau orang lain itu tiba-tiba menjadi ember yang usang, alias bocor.

Bagiku kepercayaan adalah salah satu hal yang amat berharga di kehidupan. Karena kepercayaan orang memiliki akses untuk ke mana saja. Karena kepercayaan, sebuah relasi yang indah akan langgeng. Dan berkat sebuah kepercayaan, seseorang bisa membatalkan niatnya untuk bunuh diri karena ia menemukan satu titik cahaya dalam kehidupannya, cahaya kecil yang membantunya untuk menyalakan kembali obor-obor kehidupannya.

Penantian

Sehelai lembayung senja sudah terkulai
Merebahkan kepala di paha cakrawala
Menyaksikan bintang-bintang di antara sulur-sulur malam
Yang sedang menggelar pasar malamnya.

Bayanganku semakin panjang.
Kegundahanku kian mengejang.
Kehendakku terus mengerang.
Kapan kepastian datang?

Sepi seolah sendiri.
Sunyi seakan tak berbunyi.
Kosong seolah kompong.

Kuharap kau tahu.
Aku lelah mencari.

Berhentilah kau begitu!
Aku tetap tak mengerti!

Waktu kita segera tuntas.
Pagi pun hendak meretas.

Keputusanku tegas:
Aku ingin lepas.

Bila kau tak merelakan,
Berikan sebuah alasan untuk bertahan.
Sebelum hanya kenangan
Tersisa di ujung penantian.

Kentungan, 11 Februari 2010
Ketika aku bergulat dalam pertaruhanku.

Selasa, 20 April 2010

Sumber Pengetahuan yang Melatari Iman

Manusia dilahirkan dengan tanpa pengetahuan. Segala yang nantinya ia ketahui didapat melalui indra-indra yang dipercayai oleh orang-orang beriman sebagai anugerah dari Tuhan. Kelima indera itu mengakibatkan manusia akhirnya memiliki daya yang kerap dikenal dengan daya cipta, rasa, dan karsa. Daya-daya itulah yang memungkinkan manusia untuk menyumbangkan sesuatu bagi dunia.

Sumber pengetahuan yang diperoleh manusia untuk menghasilkan sesuatu diperoleh dari mana? Sumber pengetahuan diperoleh dari segala sesuatu di dalam kehidupan manusia yang kemudian ditangkap oleh kelima indra tadi. Karena sifatnya ditangkap, maka pengetahuan yang diperoleh manusia itu harus diinterpretasikan dengan akal budinya. Setelah diinterpretasikan, baru pengetahuan yang ditangkap itu menjadi pengetahuan bagi manusia tersebut. Dengan demikan, secara sederhana, dapat dimengerti bahwa ada dua jenis pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang berasal dari segala sesuatu yang dijumpai manusia dalam kehidupannya (belum diinterpretasikan). Yang kedua adalah pengetahuan yang merupakan hasil interpretasi manusia melalui kemampuan-kemampuan yang dimiliki manusia.

Sama halnya dengan agama. Pengetahuan seseorang tentang suatu agama juga terdiri dari dua jenis. Yang pertama adalah pengetahuan yang diyakini merupakan pewahyuan dari yang Ilahi kepada manusia. Yang kedua adalah pengetahuan yang merupakan hasil interpretasi manusia atas pewahyuan itu.

Bertolak dari filsafat Aristoteles yang menawarkan tentang konsep “Sang Pengada Pertama”, yang sekarang kita sebut sebagai Allah, maka kita bisa membedakan cirri khas masing-masing sumber pengetahuan tersebut.

Wahyu

Hasil Interpretasi

1. Berasal langsung dari yang Ilahi.

2. Hanya diturunkan pada orang-orang tertentu.

3. Masih kaya makna.

4. Dianggap memiliki otoritas yang lebih tinggi.

5. Ditangkap dan dipahami dengan akal.

1. Merupakan hasil dari interpretasi atas wahyu.

2. Bisa didapatkan oleh siapa saja yang berkehendak untuk menginterpretasikannya.

3. Maknanya terbatas pada orang yang menginterpretasikannya. Hasil tafsirannya juga tergantung pada siapa yang menafsirkan, apa sejarah hidupnya, dan apa yang diinginkannya dengan menafsirkan pewahyuan itu.

4. Otoritasnya lebih rendah karena berasal dari manusia yang nota bene diyakini sebagai ciptaan yang Ilahi (Allah)

5. Ditangkap dan dipahami dengan akal budi.

6. Butuh latihan dan iman agar hasil interpretasi atas pewahyuan itu mendukung apa yang diyakini. Seorang yang tidak punya iman pun juga bisa menginterpretasikan, tapi tentunya akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda.

Dari perincian sifat-sifat dua sumber pengetahuan itu, tampak bahwa pengetahuan manusia tentang suatu agama tertentu atau agama yang diyakininya amatlah terbatas. Yang lebih mendasar lagi adalah bahwa pengetahuan-pengetahuan yang memiliki cara-cara yang khas untuk mendapatkannya itu, sesungguhnya berasal dari satu. Menurut orang-orang beriman, mereka menyebutnya sebagai Allah.

Jika memang setiap agama memiliki sumber-sumber pengetahuan tentang agamanya seperti pola di atas, maka bolehlah kita meminjam filsafat Aristoteles sebagai kacamata pandangnya. Jika setiap agama meyakini dalam diri mereka masing-masing bahwa setiap agama dari mereka memiliki pewahyuannya masing-masing, menurut Aristoteles, pasti ada penyebab sebelumnya yang meng-ada-kan pengetahuan itu. Jika ditelusuri terus menerus, maka akan sampailah pada sesuatu yang disebut sebagai causa prima (penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh sebab lain).

Dari logika sederhana ini saja, tentunya kita boleh mengerti bahwa tidak semestinya manusia meyakini bahwa apa yang diterimanya atau apa yang telah diwahyukan kepadanya adalah paling benar. Sekalipun tiap manusia tetap bersikap dan menyakini bahwa agamanya adalah paling benar, faktanya tetap ada kelompok lain yang juga meyakini hal yang sama. Ketika seorang manusia meyakini agamanya yang paling benar, manusia lain yang meyakini bahwa agamanya juga paling benar tidak langsung musnah atau mati dengan sendirinya oleh karena ada agama yang lebih benar yang diyakini oleh orang pertama itu. Dengan begitu, berarti ada dua agama yang paling benar.Jika ada 2 hal yang paling benar, berarti ketika itu dinyatakan sebenarnya tidak ada salah satu dari mereka yang paling benar. Dan sesuatu yang benar itu juga merupakan ungkapan dari manusia yang berbeda dimana ungkapan itu merupakan produk dari akal budi yang dimiliki tiap manusia dengan kekhasannya masing-masing.

Bila sudah sampai pada tahap ini, perlu ditanyakan kembali, darimana pengetahuan tentang itu didapat; apakah dari sumber yang pertama atau dari sumber yang kedua.