Pernah ada dua sessi dalam kehidupanku di mana aku mengalami kehilangan kepercayaan. Kepercayaan yang kumaksudkan di sini adalah bukan kepercayaan dalam hubungannya dengan agama, maupun kepercayaan dalam kaitannya dengan kepercayaan diri. Kepercayaan itu adalah kepercayaan kepada orang lain. Lebih detail lagi kepercayaan kepada orang-orang yang kuanggap bisa kupecayai.
Sessi yang pertama adalah sepotong plot kehidupanku ketika aku kelas 6 SD. Waktu itu aku punya seorang sahabat yang amat kupercayai. Aku mempercayakan segala rahasiaku kepadanya. Benar-benar segala rahasia. Karena kepercayaan itu, persahabatan kami menjadi begitu lekat. Terlebih, persahabatan kami di mulai ketika kami kelas 4 SD. Kedekatan kami ibarat ungkapan “di mana ada dia, di situ juga ada aku”. Sungguh merupakan plot yang membahagiakan sebelum aku digempur oleh luka batin itu. Ya. Karena salah satu tingkahnya, pancang-pancang yang menopang bangunan kepercayaanku terlepas dari ikatannya. Karena penghianatannya, gedung kepercayaanku luruh bergemuruh hingga rangkanya pun turut melesak ke dalam tanah dan membuat lukaku semakin dalam dan sukar disembuhkan. Kawan, kau tahu apa tingkahnya?????
Dia membeberkan semua rahasiaku kepada teman-temanku. Bukan hanya teman-teman seangkatan, tetapi adik kelas pun juga tahu.
Kau tahu kawan? Sejak saat itulah aku menjadi orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Bahkan aku mendeklarasikan bahwa aku tidak akan pernah percaya lagi sepenuhnya pada siapapun. Aku berubah menjadi orang yang tidak banyak cerita. Menjadi orang yang selalu mencari sendiri solusi-solusi untuk masalahku. Sejak itu pula, aku mulai melatih diriku menjadi seorang single fighter: Membangun sebuah ruang besar di hatiku untuk menampung permasalahan kehidupanku; membuat topeng wajah yang lebih lucu dan ceria daripada badut Ancol; mengoleksi langkah-langkah strategis dengan memahami kehidupan demi sebuah solusi atas masalah-masalahku. Selama aku melakukan itu semua, alam bawah sadarku juga memperteguh kerinduanku untuk memperoleh seorang atau beberapa sahabat yang benar-benar bisa dipercaya.
Dalam plot lain lagi, jauh sesudah plot itu, aku berhasil memaafkan dia dan menerima diri. Ya. Penerimaan atas luka dan pengalaman itu, sedikit mengobati lukaku. Meski begitu, luka tetaplah luka. Ia tetap memiliki bekas hingga hatiku diganti oleh hati yang baru. Namun, kapan hati yang baru itu datang? Probabilitas terbesar untuk pertanyaan itu adalah saat aku reinkarnasi nanti. Artinya, selama aku hidup di dunia, bekas itu tetap ada.
Aku bisa menerima bahwa aku harus mulai dari awal lagi untuk membangun ruang kepercayaan di hatiku. Nanti, akan kuceritakan kenapa aku harus menerima.
Plot yang kedua adalah plot seputar bulan Maret-April ini. Belum aku selesai membangun ruangan itu, aku mengalami hal yang sama. Sialnya, itu juga dilakukan oleh sahabatku sendiri yang kupercaya dapat menjaga dan melidungi kotak mutiaraku.
Dari dua plot itu, aku jadi bertanya, apakah aku boleh menyebut diriku sebagai keledai (karena keledai sering jatuh pada lubang yang sama)?
Dua plot itu membuatku benar-benar merasa terancam. Maksudnya, aku terancam akan kehilangan salah satu mutiara hidupku, yaitu kepercayaan kepada orang lain (dalam kaitannya dengan rahasia). Atau bahkan malah dua mutiara. Yang pertama adalah kepercayaan itu tadi, yang kedua adalah tentang membangun persahabatan yang solid.
……………………….
Dari dua plot itu, aku belajar bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya seratus persen. Mungkin lebih tepatnya bila aku mengatakan bahwa aku belum bisa menemukan orang di dunia ini yang bisa kupercayai seratus persen. Sekali lagi, belum pernah.
Hal kedua yang bisa kupelajari adalah sebelum aku membagikan rahasiaku kepada orang lain, aku semestinya mempersiapkan diri kalau-kalau orang lain itu tiba-tiba menjadi ember yang usang, alias bocor.
Bagiku kepercayaan adalah salah satu hal yang amat berharga di kehidupan. Karena kepercayaan orang memiliki akses untuk ke mana saja. Karena kepercayaan, sebuah relasi yang indah akan langgeng. Dan berkat sebuah kepercayaan, seseorang bisa membatalkan niatnya untuk bunuh diri karena ia menemukan satu titik cahaya dalam kehidupannya, cahaya kecil yang membantunya untuk menyalakan kembali obor-obor kehidupannya.
skip to main |
skip to sidebar
About Me
Ketika suaraku hanya abu di antara bilah-bilah kayu
Labels
- Ajar Urip (15)
- Artikel Lepas (1)
- Ngayal (1)
- Panggilan hidup (3)
- Poems (10)
- Solilokui (3)
- Tujuan hidup (2)
1 komentar:
ikal po kriting?hehehehehehehehe......
Posting Komentar