Aku pikir, sang waktu tidak akan pernah berhenti mengakumulasi usia hidupku di dunia. Buktinya, ia terus saja bermain-main bola matahari. Ketika satu putaran siang selesai, sang waktu segera menariknya dari senja dan segera melemparkannya ke timur. Sang fajar dengan kegesitannya melambungkan matahari tinggi-tinggi sebelum Bethara Kala melahapnya dalam kegelapan bumi. Dengan begitu, sang waktu berhasil menambahkan satu hari dalam tahun hariku di dunia. Entah sampai kapan mereka akan bosan bermain-main seperti itu. Barangkali suatu saat, sang waktu mengganti arah lemparannya ke utara. Boleh juga, pikirku. Aku harap, ketika itu terjadi, usiaku akan dihitung ulang dari awal.
Hehe… Dihitung dari awal? Keren juga seandainya bisa seperti itu.
Aku pikir, penghitungan awal bisa dimulai kapan saja tanpa harus ribet-ribet seperti itu. Toh, penghitungan itu juga hasil ulah manusia. Manusia memang secara sadar atau tidak sadar selalu membuat ukuran-ukuran matematis tentang segala sesuatunya. Mungkin itu untuk mengukur sejauh mana dirinya telah bekembang. Mungkin pula untuk mengukur setenar apa karya-karyanya dapat dikenal oleh dunia.
Ngomong-ngomong soal karya tangan manusia, aku jadi ingat obrolan kita dulu. Kau mengatakan bahwa manusia itu selalu bangga akan apa yang ia ciptakan. Apalagi ciptaan itu adalah hasil karyanya sendiri. Ya… secara spontan aku menyetujui itu.
Aku pun akan bangga bila telah mengkreasi sesuatu, entah itu suatu acara atau benda. Sebisa mungkin aku harus mengabadikannya. Aku percaya bahwa tiap hasil karya selalu merupakan representasi dari penciptanya. Sebuah ungkapan batiniah manusia dalam bentuk realitas fisik. Aku sendiri telah membuat beberapa mp3 dari lagu-laguku. Yah… hanya sekedar dokumentasi karena ingatanku tak mampu mengabadikan perasaan-perasaanku.
Kawan, mungkin kau lupa sesuatu. Segala yang kita ciptakan ini tergantung dari berapa besarnya kemampuan kita. Aku contohnya. Tiap kali diminta untuk mengungkapkan apa yang kurasakan, aku selalu merasa kesulitan. Menulis indah atau bertutur secara menarik pun aku tak mampu. Rangkaian tata bahasaku kerap loncat kesana-kemari dengan PD-nya. Maka, aku mengungkapkan perasaanku lewat lagu karna aku memiliki talenta di situ.
Mengungkapkan lewat lagu memberikan keuntungan bagiku. Aku tidak perlu memikirkan tata bahasa yang aduhai selalu membingungkan diriku. Aku mengungkapkan perasaanku dengan ungkapan-ungkapan yang mewakili perasaanku.
Kalo kurasa-rasakan lagi, lagu pun belum cukup mewakili segala yang kurasakan. Kadang ada taste dari lagu itu yang kurang mengena terhadap perasaanku yang sesungguhnya. Namun, kalau diukur dari tingkat kepuasan, aku lebih puas mengungkapkan perasaanku lewat lagu.
.... mmmm…. Sori kawan, sepertinya omonganku ini tak tentu arahnya. Bukannya aku bermaksud demikian… aku hanya ingin berbagi rasa denganmu lewat laguku ini…. (Tuh, kan terbukti, kalo aku susah mengungkapkan perasaanku melalui bahasa tulisan….) kira-kira begini liriknya.
Judule Pelita Perjalanan
Panggilan hidup ini, kerap sulit aku mengerti
Beribu tanya menjejali hati
Hingga tak kuasa tuk kutanggung sendiri
Namun cinta-Mu beri sebuah pelita di jemari
Bahwa hidup hanya untuk mengerti
Semua karsa-Mu di jagad ini
Kau memanggilku tuk menjadi tangan kanan-Mu
Dan menebarkan cinta bagi sesama
Kau pun tunjukkan bunga api-Mu di hidupku
Yang kan tunjukkan akhir perjalanan hidupku ini.
Intinya, aku sedang merasa jenuh dengan semua yang kutemui dalam kehidupan ini. Aku terlalu letih untuk merenungkan apa tujuan hidupku, panggilan hidupku, dan kehendak Dia yang telah menciptakan kita.
Di sisi lain, aku telah terlalu banyak mengakumulasi penyesalan dalam hidupku. Ingin rasanya aku me-restart kehidupanku. Memulai lagi segalanya dari awal dan menjalani kehidupan tanpa harus melalukan lagi kekeliruan-kekeliruan yang pernah kulakukan. Sepertinya aku akan merasa lebih baik bila restarting itu bisa terlaksana.
But It’is bullshit. Non sense. Omong kosong….. Tuhan tidak pernah sekalipun menyelipkan tombol restart dalam tubuh manusia. Aku tidak tahu ini salah siapa. Yang jelas aku tidak berani menyalahkan Tuhan. Lah wong mendugai samudra raya aja ga bisa, apalagi menyalahkan Tuhan.
Ya wes…… Aku hanya bisa menerima….. menikmati betapa getirnya pengalaman-pengalaman hidupku, betapa pahitnya buah pare kehidupan ini…..
Aku benci tiap kali menggunakan kata ‘betapa’. Kesannya, tidak ada harapan, tidak ada semangat… lebay….
Tapi satu hal yang masih bertahan kuat dalam keyakinanku... bahwa Daya Ilahi selalu mengatasi segala yang ada.... melampaui segala batas... Seandainya dia berbentuk sosok tertentu... aku tak peduli apa bentuknya.... tp yg kupercaya Dia itu ada...
I think that is all enough…
Makasih dah menemaniku dalam malam bersama sebatang korek api ini…
Doakan semoga korek ini tidak lekas habis sebelum Sang Fajar memengankan kejar-kejarannya dengan Bethara Kala.
skip to main |
skip to sidebar
About Me
Ketika suaraku hanya abu di antara bilah-bilah kayu
Kamis, 07 Januari 2010
Labels
- Ajar Urip (15)
- Artikel Lepas (1)
- Ngayal (1)
- Panggilan hidup (3)
- Poems (10)
- Solilokui (3)
- Tujuan hidup (2)
0 komentar:
Posting Komentar