05.45
Bunga bakung tidak memeilih tempat untuk ia hidup dan tumbuh, kawan. Sama seperti aku, manusia, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, kita semua tidak dapat memiih tempat untuk dilahirkan, tempat untuk mulai bertunas, tanah di mana kita mulai menghunuskan akar tunggang kita. Kembali aku pandangi sang bakung yang sedang asyik bercumbu mesra dengan mentari pagi ini. Sekalipun pagi ini masih menggenggam sisa dingin semalam, sang bakung tetap teguh. Tidak lari dan kemudian bersembunyi di balik selimut tebal seperti aku saat ini. Memang sih… ini masih liburan. Namun, aku merasa bunga bakung sedang memberiku kuliah tentang kehidupan. Seperti sebuah mantra atau reyma… ia merapalkan kalimat “belajarlah menerima keadaan di mana aku tumbuh dan menerima situasi sekitarku” berulang kali. Menjejalkannya dalam benakku… membuaiku… dan berhasil memanipulasi kata-kataku dalam hati untuk mengikuti irama mantranya…
Sebagai manusia dewasa… (dewasa? Apakah aku sudah dewasa? Apa batasan seseorang dianggap dewasa?) aku memang mampu menolak keluargaku dengan segala daya yang ada dalam akal budiku. Namun, aku adalah bagian dari keluargaku merupakan sesuatu yang tak bisa kupungkiri. Sampai mati, atau seluruh anggota keluargaku mati, link-link yang tercipta antara aku dan keluargaku dan orang-orang lain tak akan pernah putus… Koneksinya selalu ada dan entah berapa kbps kecepatannya… Link itu sudah abadi semenjak aku diciptakan di dunia ini. Aku bertunas dari akar yang sama dengan keluargaku. Menyerap mineral dari tanah yang sama. Akar tungganggku nantinya juga menancap pada tanah yang sama dengan akar-akar tunggang tiap person yang jadi anggota keluargaku.
Sekalipun aku dan sanak familiku memiliki akar yang sama, aku tetap berbeda dengan pribadi-pribadi lain. Aku menyerap mineral dengan caraku sendiri, memperoleh asupan cahaya matahari dan air dengan cara dan upayaku yang khas. Aku mengalami proses dan progress fotosintesis dengan cara dan gayaku sendiri. Intinya, kelangsungan hidupku tergantung dari seluruh input, proses, dan output yang aku lakukan. Itu semua demi satu kebutuhan dasar yang utama yaitu bertahan hidup. Atau, dengan istilah lain kebutuhanitu adalah kebutuhan akan keselamatan drii. Aku makan dan minum demi keselamatan diri. Aku minta uang saku demi keselamatan diri; biar aku bisa jajan, bisa dolan-dolan bersama teman-teman. Aku berdoa kepada Tuhan demi keselamatan diri; dengan beragama aku mengharapkan segalanya biar aku selalu baik dan tidak masuk neraka; tidak masuk neraka berarti selamat karena aku tidak tersiksa. Aku mandi juga demi keselamatan diri. Sejauh pemahamanku, segala daya upaya, tindakan, dan polah tingkahku selalu mengarah pada dan merupakan manifestasi dari perjuangan mempertahankan hidup….
Kawan,…. Sejauh ini sih hanya itu yang ada dalam pemahamanku…. Apa yang sebenarnya aku juga tidak tahu…. Aku hanya sekedar memanfaatkan akal budiku… mencoba mengembangkan apa yang telah ditanamkan Sang Pencipta kepadaku… itu saja…. Seandainya aku salah atau sesat pikir, ya… aku minta maaf… dan aku mohon pemakluman darimu kawan…. Apa yang ada padaku hanya mampu memandang sebuah objek hanya dari salah satu sisinya saja…. Sekalipun aku selalu berpindah-pindah tempat….. Bila aku melihat sebuah bola, maka hanya satu sisinya saja yang nampak oleh ku. Aku tidak mampu memandang sebuah bola dari seluruh sisinya sekaligus… Bukankah begitu kawan?! Atau aku sesat pikir lagi?? Aku harap tidak… dan aku hanya bisa berharap kau pun berpendapat sama denganku…
Oke… lanjut dulu ya… ^_^
Ketika sudah merasa tercukupi segala kebutuhan itu, baru orang terdorong untuk berjuang mempertahankan hidup sesuatu yang ada di sekitarnya. Dorongan inilah yang popular dengan nama altruis. Dalam nuansa atruisme ini, orang yang disebut rela berkorban adalah orang yang mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan keselamatan hidup orang lain. Orang yang disebut putus harapan adalah orang yang sudah kehilangan makna mempertahankan hidup. Orang yang disebut bijaksana adalah orang yang berjuang mempertahankan hidupnya sekaligus mempertahankan hidup orang lain. Dan orang yang disebut Pengikut Yesus adalah orang yang berjuang mempertahankan hidupnya sendiri tetapi demi kelangsungan hidup orang lain. Sori kalo aku menyebut itu dengan sebutan “Pengikut Yesus”. Maksudku adalah menunjuk orang beragama. Karena kebetulan aku Katolik, maka aku menyebutnya sebagai “Pengikut Yesus”.
Apa makna mempertahankan hidup?
Secara sederhana, mempertahankan hidup kumaknai sebagai sebuah perjuangan menjaga nyawaku demi mencari jati diriku yang sebenarnya; Jati diri yang telah ditentukan Tuhan atas hidupku sebelum aku menjadi buah dalam rahim ibuku; Sebuah perjuangan untuk mencari apa sebenarnya karsa Sang Ilahi, sehingga aku Ia ciptakan dalam tanah tempat bijiku ditanam, bertunas dari akar tempat aku mulai mengenal dunia, dan bertumbuh dari mineral-mineral yang berasal dari lingkungan aku hidup.
Mempertahankan hidup orang lain itu seperti aku merawat tanaman. Aku ikut mempertahankan nyawa tumbuhan itu dengan member air, member pupuk, menggemburkan tanahnya, member asupan cahaya matahari yang cukup. Dah… hanya sebatas itu saja. Selebihnya, usaha mempertahankan hidup ditentukan dari proses dan progress internal yang ada dalam tumbuhan itu. Aku tidak dapat mengatur lalulintas makanan dalam Xylem dan floem. Aku tidak dapat menentukan prosentase kadar mineral yang mesti diserap oleh tiap untai bulu akarnya.
Berbicara tentang orang lain, aku jadi ingat akan e-mail yg dikirimkan oleh seorang rekanku di milis Soe_Hok_Gie. Ia bercerita tentang anak yang terlahir dengan mengidap virus HIV. Diceritakan bahwa anak itu energik dan selalu bersemagant dalam melakukan segala sesuatunya. Belum lepas bangku SD,, anak itu menderita tumor ganas di hidung. Tumor itu telah dengan sukses menutupi separuh wajahnya karena keluarganya tidak memiliki biaya untuk operasi. Belum selesai urusannya dengan sakitnya itu, berita (yang menurutku) menyedihkan tentang kesehatan anak itu datang lagi. Sang bocah kecil itu divonis dokter telah menderita Leukimia….. Tragis bukan?!
Mengetahui kisah itu dan menyadari pergulatan yang sedang kualami aku jadi bertanya: apa tujuan hidup anak itu? Apa yang dikehendaki Tuhan dengan mengizinkan anak itu menikmati duia ini? Jika Tuhan tidak adam siapakah yang bertanggung jawab atas nyawa ini? Mengapa sang pemberi nyawa nekat saja memberikan nyawa pada setangkai bakung yang hidup di gurun Gobi ini? Apa panggilan hidupnya di dunia ini? Apakah panggilan hidupnya di dunia ini hanya sekedar memberikan teladan bagi orang-orang yang disebut putus harapan dalam menjalani kehidupan di atas tanah tempat mereka hidup? Apa yang dapat kulakukan baginya sebagai bentuk kepedulianku akan nyawanya? Di manakah angin di bawah kepak sayapnya? Apakah panggilan hidupku nantinya juga demi dia? Apa panggilan hidupku? Apa motivasi panggilan hidupku?
Memang, di hadapan Tuhan aku tidaklah lebih baik dan lebih tinggi martabatnya daripada anak itu. Juga aku tidak lebih rendah dan lebih hina dan nestapa daripada bocah itu. Menyadari adanya batas-batas ruang dan waktu serta jarak, aku hanya mampu memasrahkan bocah itu pada cinta Ilahi yang selalu lebih besar dari segala macam hal-hal dan tindakan-tindakan baik dari manusia. Mungkin, tragis juga karena keikutsertaanku dalam memperjuangkan hidup dan keselamatannya hanya dengan menyerahkannya begitu saja pada karsa dan cinta Allah melalui tangan-tangan orang lain yang saat ini tidak mengalami keterbatasan-keterbatasan yang saat ini, kini, dan di sini sedang kualami. Kiranya, aku boleh belajar tentang kerendahan hati dari refleksi ini, kawan. Aku berharap, semoga orang lain juga mengalami pembelajaran yang sama denganku……
ya……. Semoga…..
11.05
4 komentar:
Kita belajar tentang kehidupan dengan banyak cara dan salah satunya memang dengan merefleksikan diri kita kepada orang yang diciptakan Tuhan justru dengan banyak masalah (apapun itu dan sejak kapanpun)dan aku pun belum memahami apa yang diingikan Tuhan saat menciptakan manusia yang sejak lahir pun sudah mendapatkan masalah,apakah hanya untuk memberikan pembelajaran dan refleksi terhadap kita yang lahir jauh lebih sempurna dari mereka???
itu yg msih jd misteri bwt q, mbak ella.
makanya q mw ngambil spekulasi yg besar itu....
kita memeluk suatu agama pun sbenarnya jg sdang ngambil sbuah spekulasi besar....
Dan menurutku semakin aku mencintai "Tuhan" semakin banyak pertanyaan yang ingin aku berikan pada "Tuhan" karena aku semakin susah memahami kehendak-Nya.
klo upin n ipin mewakili jawabanku mereka pasti bilang...
betul, betul, betul
Posting Komentar